Rekonsiliasi Cita dalam Rasa

Aditya Pratama Putra
3 min readSep 16, 2020

--

Proses politik dalam sebuah negara demokrasi adalah sebuah cita dalam rasa, bagai bunga dalam tidur, kebanyakan poin nya terlalu saru untuk di lihat kasat mata. Teori Konspirasi? Benarkah itu? atau hanya sebuah kesalahan dalam desain demokrasi kita dewasa ini? awal masalah sejatinya bukan dari dua anak hewan tropis kodok dan kalong, tapi sesungguhnya dari polarisasi yang di desain elit dengan aturan yang di sebut dengan Presidential Threshold. apa itu? mari kita bahas.

dalam buku Gotfridus Goris Seran (hal. 557) mendefinisikan Presidential Threshold sebagai ambang batas perolehan suara yang harus diperoleh oleh partai politik dalam suatu pemilu untuk dapat mengajukan calon presiden. Misalnya dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2009, pasangan calon presiden dan wakil presiden diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki sekurang-kurangnya 25% kursi di DPR atau 20% suara sah nasional dalam Pemilu Legislatif. Intinya jika di indonesia masih menetapkan aturan bahwasannya yang berhak mencalonkan diri menjadi presiden adalah lembaga partai politik, sehingga untuk menjadi seorang presiden kita perlu mendaftar atau setidaknya di pilih oleh sebuah partai politik di indonesia yang dalam tanda petik “menjadi kendaraan politik capres dalam melaju di ajang pemilu berikutnya”. Namun buka itu masalahnya, toh dengan adanya seleksi partai politik akan membuat kompetensi capres menjadi lebih teruji, masalahnya ada pada ambang batas suara yang menjadi kualifikasi sebuah partai bisa atau tidaknya dia mencalonkan presiden, dengan adanya ambang batas yang terhitung besar cenderung ada kesan bahwasannya elit ingin membatasi jumlah kontestan terutama dalam kontestasi Pilpres, seperti yang dikutip dari pernyataan Effendi Ghazali berikut, “Semua hancur gara-gara presidential threshold, yang lebih terlihat sebagai upaya melarang putra dan putri terbaik bangsa untuk ikut masuk dalam kompetisi pilpres. Bahkan, ada kesan ingin membatasi agar hanya terdapat satu pasangan kompetitor dan kalau bisa dicari kompetitor yang terlemah,” kata Effendi lewat pesan singkat kepada CNNIndonesia.com, Rabu (24/4).

Dengan hanya adanya dua paslon yang bisa masuk kontestasi tentu membuat konflik kubu menjadi 100 %, kalo gak 01 ya 02, kalo gak Cebong ya Kampret, kalo gak Wiwi ya Wowo. familiar bukan, apalagi kedua paslon yang kini bertarung di 2019 adalah Rematch dari pertarungan 2014 so ibarat sudah bertarung mati-matian di ronde 1 ronde 2 adalah waktu yang tepat untuk mengeluarkan jurus-jurus pamungkas, dan seperti kita tau jurus jurus politisi itu tidak selalu ilmu putih, kadang ada ilmu abu-abu bahkan sering kali kala kepepet mengeluarkan jurus ilmu hitam mengundang murka. rasanya rindu era dimana ambang batas masih kecil dimana kontestan presiden bisa 3 bahkan langsung 5 orang, ada banyak pilihan, lebih puas, banyak gagasan dan ide baru. bahkan mungkin membuka kesempatan bagi manusia baru menjadi pemimpin negeri ini. intinya gak banget deh buat Presidential Threshold kali ini.

Kesimpulanya tulisan ini dibuat di sela-sela kejenuhan siang hari, bingung mau ngapain, liat-liat media sosial dan sedih melihat kondisi ala-ala Captain America: Civil War. kondisinya mirip ada dua kubu yang sama-sama memperjuangkan kebenaran. Kebenaran yang versinya sama “for the greater good” dan itulah yang membuat rekonsiliasi sulit, karna gak ada hitam gak ada putih, dua duanya putih, gak bisa di salahkan, dan memang tidak salah, yang salah adalah Zemo yang membuat strategi ala meneer belanda zaman penjajahan, lalu bagaimana? tugas kita sekarang tentu adalah mencari zemo dan menghabisinya, tapi sebelum itu untuk kebaikan bersama sabar adalah kunci, gausah marah, gausah gundah, tahan, gak usah ada pertempuran di markas hydra sampai berdarah-darah, kalo ada satu saran yang bisa saya kasih dalam tulisan ini mungkin adalah kuatkan hati, setuju atau tidak pemilu kali ini adalah pemilu yang sangat personal bagi sebagian besar orang di indonesia, dan bagi sebagian adalah perjuangan mereka dalam kebenaran, jadi jangan di lawan, kuat saja, kalo di ejek diamkan jangan lawan, kalo diajak diskusi oleh orang logis diskusilah dengan substantif jika diajak diskusi oleh orang yang religius sentris maka jawablah semampu kita.

Terimakasih

Mohon maaf lahir batin.

--

--